Monday, December 21, 2020
ADMINISTRASI & KESEKRETARIATAN. - ppt download
Thursday, October 1, 2020
Tuesday, September 8, 2020
Mengelola Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif.
Mengelola Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif.
Oleh: DewiRo
Hari ini, saya baca blognya Om Jay, sangat tertarik dengan judulnya yang
keren. Jadi penasaran ingin tahu, seperti apa dan bagaimana sih mengelola
pembelajaran yang adaptif, fleksibel dan akomodatif. Om Jay juga menyarankan
untuk melihat webinar episode 8, yang diselenggarakan Kemendikbud, banyak
materi yang menarik, diantaranya webinar dengan judul, “Mengelola Pembelajaran yang
Adaptif, Fleksibel dan Akomodatif.”
Anda dapat menontonnya di https://youtu.be/19zskjSJUL8, dengan durasi yang lumayan panjang
karena ada 5 nara sumber, dipandu oleh pembawa acara yang cukup kondang yaitu
Mas Gibran. Bersama ketua Pusat Penguatan Karakter,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Hendrawan.
Webinar dibuka dengan lagu
kebangsaan Indonesia Raya, seluruh peserta disilakan pada posisi khidmad.
Webinar kali ini mengambil tema: Mengelola
Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif. Dalam kondisi khusus, jadi
tema webinar kali ini, terkait dengan penyesuaian kebijakan pembelajaran di
masa pandemi, yang tanggal 7 Agustus kemarin disampaikan oleh Mas Menteri.
Sambutan pertama oleh ketua Pusat
Penguatan Karakter, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Hendrawan. Pusat penguatan karakter ini, merupakan
salah satu pusat baru dibawah kepemimpinan Mas menteri yang diberikan mandat
untuk menyampaikan juga mengedukasikan kebijakan kementerian pendidikan dan
juga nilai-nilai Pancasila dalam penguatan karakter dan juga mengadakan acara-acara
yang disesuaikan dengan hari besar nasional, hari besar agama, dan hal-hal lain.
Tidak hanya dalam bentuk webinar, dan ada berbagai kegiatan lainnya. Seperti
nonton bareng virtual dan kegiatan-kegiatan dengan tema karakter virtual, juga
lomba-lomba.
Selanjutnya
webinar di awali oleh nara sumber pertama yaitu Mbak Sofi Dewayani, beliau ketua
satgas gerakan literasi sekolah, Kemendikbud.
Materinya
tentang bagaimana mengelola pembelajaran adaptif , fleksibel dan akomodatif. Menurut beliau, sesui dengan tugasnya sebagai
pegiat literasi, maka pembelajaran yang adaptif adalah pembelajaran literasi
merupakan salah satu cara yang bisa mempertahankan kompetensi siswa, karena
merupakan kemampuan esensial.
Kecakapan
generatif, pada masa ini menjadi penting sekali, untuk itu kecakapan yang
aktual penting dimiliki oleh siswa, untuk mengatasi tantangan abad 21.
Diantaranya
kecakapan untuk memilih informasi secara kritis, agar bisa digunakan untuk mengambil keputusan
dalam kehidupan ini. Supaya bisa
berperan sebagai warga negara dan warga global.
Khususnya
pada masa pandemi ini, kemampuan literasi dalam kecakapan mengelola informasi
sangat dibutuhkan. Dalam PJJ siswa harus mampu melaksanakan PJJ, mampu
mengakses informasi, bagaimana hidup sehat, bagaimana menyelesaikan tugas
pembelajaran, dan kecakapan hidup lainnya.
Intinya
pada masa saat ini siswa dikepung oleh berbagai informasi yang menglobal.
Sehingga kemampuan literasi ini sangat penting, agar punya kecakapan hidup. Untuk
memilih informasi, menyeleksinya, membekali mereka dengan ketahanan hidup, bagaimana
mereka hidup lebih sehat, bagaimana mereka bertahan secara emosional, dan
sebagainya.
Sebagai
contoh pembelajaran yang adaptif bisa berupa kegiatan-kegiatan:
1. Meskipun
mereka tidak berjumpa dengan teman atau gurunya di sekolah, tapi mereka dapat
beraktivitas tetap dengan cara menyenangkan, ini penting sekali.
2. Menyediakan buku-buku anak bergambar agar tetap
bisa menumbuhkan literasi siswa, jadi meningkatkan kecakapan literasi.
3. Jadi yang disebut pembelajaran adaptif
tentunya disesuai dengan kondisi kekhasan siswa pada masa pandemi, sebagai
contoh lagi seperti, tidak perlu menetapkan kurikulum harus tuntas, yang
penting melakukan kegiatan yang bermakna. Tentunya di barengi oleh guru dan
orang tua yang harus selalu berinovasi agar tercipta pembelajaran yang
menyenangkan dan bermakna.
Demikian
ini pemaparan dari Mbak Sofi, yang juga ketua Yayasan Litara. Sangat menarik
dan sangat menginspirasi. Bahwa dalam masa pandemi ini, khususnya guru harus
bisa berinovasi dalam pembelajaran dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
peserta didik.
Masih
ada naras umber lainnya, yang membahas materi menarik, simak artikel
selanjutnya ya.
Salam
Literasi
Baliku, 8-08-2020
Monday, September 7, 2020
Apa Pesan Mas Menteri, Agar Sekolah Bisa Tatap Muka?
Apa Pesan Mas Menteri, Agar Sekolah Bisa Tatap Muka?
Oleh:
DewiRo
Berkali-kali saya lihat pesan dari Mas Menteri, mengenai boleh tidaknya menyelenggarakan pembelajaran dengan tatap muka. Hari ini, saya mengaduk-aduk chanel youtube untuk mencari sumber tentang bagaimana mengelola pembelajaran yang adaptif, fleksibel dan akomodatif, ternyata belum bisa dibuka, dan akhirnya ketemu lagi dengan wajah yang tak asing bagi para pendidik yaitu Mendikbud Nadiem Anwar Makarim.
Akhirnya, saya tergerak untuk menulis pesan beliau baik sebagai Menteri maupun sebagai orang tua. Yang mungkin, ada sekolah atau guru yang belum sempat lihat di televisi atau media lain tentang pesan beliau.
Mas Menteri berpesan kepada seluruh lapisan pendidik maupun orang tua, mengenai tata cara pembelajaran tatap muka, pada masa pandemi, saat ini.
Pesen tersebut ada tiga poin pokok, sebagai berikut cuplikannya:
Pesan pertama:
Bahwa untuk zona kuning dan hijau, sekolah tidak bisa mulai pembelajaran tatap muka, tanpa persetujuan orang tua, melalui persetujuan komite sekolah, yaitu perwakilan orang tua di masing-masing sekolah. Dan bahkan kalau sekolah itu, mau melakukan tatap muka, dan sudah akan membuka pembelajaran tatap muka, masing-masing orang tua anak, boleh tidak memperkenankan anaknya masuk ke dalam sekolah, kalau mereka belum nyaman dan mereka diperbolehkan melanjutkan PJJ, jika orangtuanya tidak memberikan izin untuk masuk sekolah tatap muka ini.
Dari pesan pertama Mas Menteri, bahwa apabila sekolah yang dikatagorikan dalam zona aman yaitu kuning dan hijau, maka sekolah harus membicarakan matang-matang dengan orang tua melalui komite. Kalaupun sekolah dan komite sudah sepakat, namun masih ada orang tua yang belum merasa tenang dan nyaman melepaskan anaknya ikut sekolah dengan tatap muka, maka boleh tetap belajar sistem PJJ. Jadi kuncinya ada di persetujuan orang tua peserta didik.
Pesan kedua:
Bahwa, pada saat sekolah melakukan pembelajaran tatap muka, kondisi protokol kesehatannya harus sangat ketat. Masing-masing rombel hanya diperbolehkan maksimal 50% dari kapasitas, berarti harus melakukan rotasi shifting semua sekolah ini. Tidak ada lagi aktivitas kantin, berkumpul, ekstrakurikuler, yang akan ada yang resiko interaksi, antara masing-masing peserta didik. Jadi hanya boleh sekolah, langsung pulang sekolah, dan tentunya wajib memakai masker dan berbagai macam checklist yang sangat ketat.
Artinya, bahwa apabila terselenggara pembelajaran tatap muka, maka tiap kelas hanya boleh terisi kapasitas sebanyak 50% dari jumlah siswa di kelas tersebut, misalnya sebelum pandemi berjumlah 30 siswa, maka sekarang maksimal hanya boleh 15 siswa. Untuk itu harus ada rotasi shifting.
Aktivitas apapun selain belajar di kelas semuanya ditiadakan, dan standar protokol Kesehatan harus benar-benar diperhatikan dan sangat ketat.
Berarti pula, sekolah harus benar-benar siap dengan segala sarana prasarana, sesuai standar protokol Kesehatan covid-19.
Pesan ketiga:
Bahwa, 88% dari pada daerah 3T (Terdepan, terluar, dan tertinggal) di Indonesia, yang sangat sulit untuk bisa melakukan PJJ itu, ada di zona kuning dan hijau, Mas Menteri berharap, karena masih banyak sekali daerah-daerah yang tidak bisa melakukan PJJ, untuk itu bisa mulai melakukan tatap muka, agar mereka tidak ketertinggalan dari sisi pembelajaran.
Sebagai menteri dan orang tua, beliau hanya ingin mengingatka, tiga poin ini.
1. Bahwa relaksasi zona kuning dan hijau, itu semua kuncinya, keputusan ada di orang tua.
2. Bahwa protokol kesehatan pada saat tatap muka, itu sangat berbeda dari pra pandemi ini, dengan rotasi shifting.
Semoga sekolah-sekolah dalam zona aman yaitu zona kuning dan hijau, yang ingin membuka pembelajaran tatap muka, bisa memperhatikan pesan Mas Menteri. Dengan mempersiapkan sebaik mungkin sarana dan prasarana sesui protokol pencegahan covid-19. Tetap dengan memperhatikan, bahwa persetujuan orang tua sangat penting. Jadi sebelum itu tentunya harus buat surat edaran untuk mendapatkan persetujuan dari orang tua.
Tetap semangat.
Salam Literasi
Baliku, 7 September 2020
Sunday, September 6, 2020
Digital Mindset di Masa New Normal
Digital
Mindset di Masa New Normal
Oleh:
DewiRo
Belajar
dengan professor satu ini memang mengasyikkan, walau hanya lewat chanel youtube
dan webinar menggunakan zoom. Yang diselenggarakan
antara PGRI, penerbit Andi dan Ekoji chanel akademi. Webinar kali ini selain nara
sumber Prof. Dr. Richardus Eko Indrajit, ada ketua umum PGRI Prof Unifah, dari
penerbit Andi Jogja Bapak Joko Irawan Mumpuni, si cantik Non Dwinita, Om Jay
dan para penulis muda besutan prof Eko, beserta 166 peserta webinar, yang live
lewat zoom dan lainnya melalui chanel Youtube.
Kali
ini, temanya sangat keren dan sangat relevan dalam masa pandemi dengan Pembelajaran
Jarak Jauh. Judulnya adalah mengenai Digital
Mindset di Masa New Normal, yang di fokuskan digital mindset untuk
pendidik, untuk guru, dosen, orang tua, para
instruktur, pemerhati pendidikan dan lain sebagainya. Dengan studi kasus,
“guru penulis kilat.”
Apa
yang di maksud dengan Digital Mindset?
Digital
Mindset adalah berfikir secara digital, dalam menghadapi berbagai issu dan
tantangan pemecahan masalah, sehingga mendapat solusi yang efektif, kreatif,
inovatif dan disruptif.
Dalam
masa saat pandemi ini, tentunya untuk menghadapi masa new normal atau
menghadapi tatanan hidup baru di masa pandemi, kita harus berani mencoba
berpikir secara digital, menghadapi berbagai isu dan tantangan dalam pemecahan
masalah, sehingga diperoleh solusi yang efektif, kreatif, inovatif dan cenderung
disruptif.
Sekarang
ini, situasi serba sulit dalam segala sektor krhidupan. namun yang namanya
pendidikan harus tetap berjalan terus, ilmu berkembang terus, apa yang harus
kita lakukan, sebagai seorang pendidik?
Dalam
menghadapi permasalahan ini, kita harus cari solusi, tapi secara efektif,
kreatif, inovatif dan cenderung disruptif. Adanya fenomena digitalisasi, jadi
semua hal yang bisa dipindah dalam bentuk file, seperti buku bisa jadi file
dengan e-book, video dalam bentuk file, bisa berupa chanel youtube, termasuk
pertemuanpun mengunakan digital mindset dengan webinar, maka kita bertemu dalam
bentuk elektronik. Itu semua bisa dilakukan atau menjadi solusi bagi
permasalahan yang kita hadapi.
Seluruh profesii harus memiliki digital mandset,
jika ingin berhasil dan tetap relevan dengan kondisi zaman yang dinamis,
seperti sekarang ini. Contoh Go-jek dan
sejenisnya, lahir karena digital mindset, e-learning lahir karena adanya
digital mindset, pertemuan yang sering kita lakukan dengan vicon menggunakan
webex, zoom, google meet dan lainnya. ini juga adanya pemikiran digital
mindset. Melihat berbagai karya-karya lain, seperti Bukalapak dan sejenisnya,
itu juga berpikir kreatif, inovatif secara digital sehingga memberikan manfaat
bagi kita semua, walau cenderung desruktif.
Dari
semua profesi harus memiliki digital mindset.
Khususnya, yang paling utama adalah guru, karena semua masyarakat semuanya
dibimbing oleh guru, anak sebagai generasi penerus/ generasi muda, lahir dari
sekolah, guru yang memiliki digital mindset, bisa menularkan pikiran kreatif,
inovatif nya, kepada para siswa dan masyarakat semua.
Ada
5 ciri sederhana dalam digital mindset, untuk kalangan pendidik atau guru.
1. Digital
Mindset pertama
a. Dulu
: Murid/kita menunggu ilmu
diberikan oleh pihak lain/guru.
b. Sekarang:
Menjemput ilmu secara mandiri dan independen.
Artinya kalau masa lalu, kita hanya menunggu ilmu yang
diberikan oleh guru atau pihak lain, kita menunggu diajarain, karena
keterbatasan pengetahuan dan tehnologi. Sedangkan dengan adanya perubahan digital mindset, sekarang, murid
atau siapapun bisa menjemput, mencari dan memperoleh ilmu pengetahuan secara
mandiri dan independent. Dalam masa pandemi dan PJJ ini, menjemput ilmu adalah
sebuah keniscayaan. Untuk mengetahui banyak hal pada zaman digital mindset,
tinggal memainkan jari-jemari tangan kita, untuk mengetahui banyak hal di dunia
internet, jari-jemari kita tinggal searching, ilmu ada dalam gengaman kita,
tidak zamanya lagi untuk menunggu ilmu, tapi waktunya menjemput ilmu secara
mandiri dan independen.
2. Digital
Mindset
a. Dahulu : Ajarkan konten kepada peserta didik
b. Sekarang : Tanamkan kompetensi kepada peserta didik
Dahulu, semua konten
diajarkan, karena yang bisa mempelajari konten hanya guru dan sebagain
masyarakat, karena keterbatasan sarana dan prasarana, hanya ada dalam buku
guru, yang jumlahnya pun terbatas.peserta didik hanya bisa menerima di dalam
kelas.
Tetapi di zaman
digitaliisasi ini tentunya dengan digital mindset, guru tinggal meminta kepada
peserta didik atau menanamkan peserta didik tentang kompetensi. Kalau hanya
memberikan konten, maka akan sia-sia dan membuang-buang waktu, untuk diri kita
sendiri juga membuang waktu bagi peserta didik kita.
Tugas kita sekarang
adalah memberi dan menanamkan kompetensi pada peserta didik.
Tidak mungkin kita bisa
menanamkan kompetensi, tanpa ada knowladge atau tanpa ada konten. Seperti yang
dikatakan oleh Mas Menteri, kita harus pindah dari konten base ke outcome base education, intinya adalah siswa
kita pada saat ini, bukan tahu apa, tapi siswa kita bisa apa, kalau mereka bisa mengerjakan
sesuatu, pasti tahu. tapi sebaliknya kalau
hanya tahu dan tidak bisa apa-paa, itu namanya cuma pengetahuan hafalan/kognitif
saja.
Jadi di zaman digital
mindset, dengan kecanggihan sarana seperti internet yang tersambung dengan
chanel youtube dan lainnya, maka peserta didik akan mudah mendapatkan segala
macam konten, bukan dari guru, tetapi dari adanya digital mindset. Semua sudah
tersedia di internet.
3. Digital
Mindset ketiga
a. Dahulu : Belajar dulu baru dipraktekkan kemudian
b. Sekarang : Belajar sambil praktek itu biasa
Dahulu belajar dulu,
teori dulu, prakteknya belakang, kadang ilmu yang dipelajari tidak tahu cara
operasionalnya, tidak bisa menggunakannya dan mempraktekan.
Pada zaman digital
mindset, belajar prakter bersamaan dengan menerima teori, itu adalah hal yang
biasa dan bisa dikatakan harus demikian, jadi tidak sekedar teori tetapi
langsung bisa praktek. Artinya bisa menerapkan dalam kehidupan nyata, bukan
hanya sekedar belajar teori.
Para peserta didik
dengan mudah belajar bersamaan antara teori dan praktek, tanpa harus menunggu
pemberian dari guru, mereka bisa searching sendiri di dunia maya dengan
menjelajah bersama internet.
Mau belajar masak, main
musik, olahraga, belajar matematika. IPA, dan lainnya tinggal klik. Skill atau
keterampilan yang didapat dari zaman digital mindset, atau micro skill, semua
akan terwujud. sehingga mereka bisa belajar, yang bisa di praktekan dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu pendidikan formal, pendidikan informal maupun pendidikan
nonformal, sekarang sudah menjadi konvergensi satu dan lainnya. Seperti belajar
e-learning, bisa dimanasaj, kapan saja dan dengan siapa saja, peserta didik
juga bisa menikmati pembelajaran dengan fun end easy, belajar teori
sambil praktek. Skill bisa dipelajari sejak dini.
4. Digital
Mindset keempat
a. Dahulu : Peserta didik adalah kertas kosong yang
harus diisi
b. Sekarang : Peserta didik adalah manusia yang cerdas yang
harus dibentuk
Pada zaman kita SD
dulu, adalah seperti kertas kosong, yang harus diisi, itu konsep lama. Tetapi
zaman sekarang pada digital mindset, siswa adalah seorang yang cerdas, siswa
adalah manusia yang perlu dibentuk, selalu memiliki konsep, bahwa putra-putri
kita semua, bisa menjadi pribadi yang hebat, menjadi manusia yang cemerlang, penuh
inovatif.
Paradigma ini harus
kita tumbuhkan, harus bisa belajar bersama-sama, belajar seumur hidup,
maksudnya belajar seumur hidup artinya, bahwa kita harus selalu belajar, guru
yang berhenti belajar artinya berhenti menjadi guru, atau BERANI MENGAJAR SIAP
BELAJAR.
Belajar adalah proses
seumur hidup, tidak ada kata akhir. Kehidupan adalah juga sebuah pembelajaran. Guru yang berhenti belajar, artinya dia telah
berhenti menjadi guru, karena belajar sepamjang hidup.
5. Digital
Mindset kelima
a. Dahulu : Berkarya itu harus
kalau sudah dewasa
b. Sekarang : Segala usia terbuka untuk berkarya
Paradigma lama, bahwa
orang kalau mau berkarya harus pntar dulu, harus besar dulu, harus dewasa dan
banyak ilmu pengetahuannya.
Tentunya pendapat dan
persepsi seperti itu, tidak berlaku lagi di zaman digital ini.
Mindset harus kita
rubah, filosofi diatas harus kita perbaharui, bahwa, Berkarya terbuka dari
sejak dini. Segala usia terbuka untuk berkarya, tidak usah menunggu.
Karena pada zaman
digital mindset, dengan teknologi karya-karya yang bersifat digital. mudah
dikembangkan dan mudah diakses oleh berbagai kalangan.
Sangat sesuai pada masa
pandemi covid-19 ini, paradigma dan pola pikir harus menuju digital mindset.
Berkaryalah sejak dini dan terbuka untuk siapasaja. Karya digital sangat mudah
diciptakan dan dikembangkan. Berkaryalah dan berbagilah, ilmu yang Anda punya.
Salam Literasi
Baliku, 6-09-2020
Monday, August 17, 2020
Berjaunglah Saudaraku, Engkau juga Pahlawan (Sekelumit perjuangan guru di daerah 3T)
Berjaunglah
Saudaraku, Engkau juga Pahlawan
(Sekelumit perjuangan
guru di daerah 3T)
Oleh:
DewiRo
Pagi
ini saya merasa benar-benar tersentuh, dengan apa yang sudah dirasakan oleh
saudara saya dari sebuah SMA Negeri di Pagai Selatan. Dalam blognya, beliau
memperkenalkan diri, bahwa untuk mencapai tempat mengabdi di kecamatan Pagai
Selatan, yang menjadi salah satu kecamatan di garis terdepan Indonesia,
menantang Samudra Hindia, bertatapan langsung dengan Pulau Madagaskar, di
pesisir timur Afrika bagian Selatan, merupakan sebuah pulau paling ujung di
gugusan kepulauan Mentawai. Itu hanya satu contoh saudaraku yang berjuang di
daerah 3T, masih banyak pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa di luar sana.
Untuk
mencapai tempat mengabdinya, memerlukan waktu setengah hari dari kota Padang,
untuk mencapai sekolahnya, itu kalau cuaca sedang baik, kadang-kadang butuh
satu hari satu malam untuk mencapainya dengan bergelut bersama badai di lautan
untuk sampai di tempat tujuan. Sesampai di Pelabuhan, tidak bisa bersantai
harus begegas, karena untuk mencapai sekolah memerlukan waktu 37 km, dengan
menaklukkan tanah merah, hutan sunyi dan batuan karang untuk bertemu dengan
siswa-siswa istimewa beliau, bertemu dengan para pejuang pendidikan dengan
lampu lentera di setiap malamnya sebagai penerangan dalam pondok-pondok yang
mereka huni
Saya
pernah merasakan kesulitan itu. Di tahun pertama saya diangkat menjadi PNS pada
1989, disebuah kecamatan yang pada saat itu, sebelum bertugas di sana saya
mencari tempat tujuan di peta pun tak nampak. Tentunya sebuah dilema bagi saya
yang masih 23 tahun dengan semangat idealisme yang tinggi ternyata terbentur
dengan kondisi yang tidak pernah terbayangkan, berangkat dari kota pelajar
Yogyakarta, menuju provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Kecamatan
Kedondong. Pada waktu itu selalu terngiang dalam benak saya, cerita dari
orang-orang bahwa masih banyak binatang buas seperti macan dan sebagainya.
Akhirnya,
sampailah saya ke tempat tujuan dengan perjuangan yang saya rasakan begitu
berat pada saat itu. Dari kota Bandar Lampung menuju ke sekolah yang dituju
berjarak sekitar 50 km ( bisa ditempuh dalam waktu 4-5 jam, karena keterbatasan
angkutan umum). Sangat terkenal dari masyarakat, bahwa tempat itu seperti
tempat jin buang anak, karena saking sepinya dan kiri kanan adalah hutan
belantara. Tentunya saat itu dengan transportasi seadanya dan tidak setiap saat
ada.
Setelah
sampai di tempat tujuan, mungkin bisa dikatakan sok, karena belum pernah
terbayangkan dalam benak saya ada bentuk sekolahan SMA Negeri, seperti yang saya lihat. Mungkin saya anggap
bangunan yang tidak layak untuk sebuah sekolah. Sebuah bangunan yang hanya
terdiri dari papan kayu yang sudah begitu tua, yang lubang di sana-sini tanpa
olesan cap sedikitpun, pyur berwarna kayu kering lapuk dan dijadikan sebagai
dinding yang disambung diatasnya adalah kawat. Listrik pun belum terjangkau
apalagi fasilitas yang lain. Di tambah lagi banyak siswanya yang sudah
berkumis, ternyata ada yang sama umurnya dengan saya, dan kebiasaan mereka yang
biasa merokok dan masih suka membawa sajam (golok, belati dll) ke sekolah.
Itu
adalah cerita 31 tahun yang lalu, 10 tahun saya mengabdi, sudah banyak terdapat
perubahan dan kemajuan dari fasilitas sekolah yang ada. Itu semua, tentunya
berkat semangat seluruh komponen baik Guru, masyarakat dan peran serta
pemerintah. Jadi sudah 21 tahun yang lalu saya meninggalkan kota kenangan
tersebut, untuk mengabdi ke tempat yang baru sampai dengan saat ini.
Rasa
nano-nano yang saya rasakan pada 31 tahun yang lalu, yang saya anggap terasa
begitu berat, ternyata masih belum apa-apa, dibandingkan saudara-saudara saya, yang berada di daerah 3T,
yang berjuang lebih berat dibandingkan apa yang saya rasakan 31 tahun yang
lalu.
Di
zaman milenial abad 21, pendidikan didengungkan dengan berbasis IT. Masih ada
saudara kita dan putra-putri kita yang belum sepenuhnya mengenal dan mengenyam
pendidikan berbasis IT, karena terkendalanya sarana-prasarana, dimana di tempat
itu belum ada jaringan listrik yang selayaknya, jadi masih mengandalkan mesin
genset, yang penggunaannya pun harus dengan alasan urgent, untuk bisa
menyalakan dalam waktu satu atau dua jam saja.
Kiriman
lantunan doa dan semangat dari saya, untuk saudara-saudara kita yang berjuang
di garis terdepan, terluar dan tertinggal (3T), untuk terus tersenyum dalam berkarya.
Menebarkan ilmu untuk anak negeri, mengajarkan cita-cita mulia, bagi
putra-putri bangsa. Apa pun kendalanya, tak akan menyurutkan langka-langkahmu
untuk berjuang.
Walau
masa pandemi tanpa gawai bahkan listrik yang memadai,
kau
akan terus melangkah.
Walau
badai dan jarak ada,
kau
tak kan surut.
Walau
gelombang menghempasmu,
tak
akan sanggup, ia menghalangi tulus hatimu
Semoga
apapun yang saudara-saudara lakukan adalah sebuah ladang amal jariyah yang
mulia.
Semoga
cita-cita mulai dari Pendidikan nasional kita, yang di amanatkan dalam UUD NRI
1945, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan
kompetensi yang relavan dengan perkembangan zaman, agar tidak terlindas oleh zaman,
terwujud karena perjuangan para guru yang ikhlas dalam mengabdi.
Semangat
saudar-saudaraku, terus berjuanglah, salam Merdeka
Salam
Literasi
Tagur
ke-217
Baliku,
18 Agustus 2020
Semangat Kemerdekaan, dalam Merdeka Mengajar
Semangat
Kemerdekaan, dalam Merdeka Mengajar
Oleh:
DewiRo
Tepat
75 tahun lalu, detik-detik mendebarkan, momentum yang sangat berharga bagi
bangsa Indonesia, yaitu detik-detik diproklamasikan kemerdekaan Indonesia oleh Proklamator
kita, Bung Karno dan Bung Hatta...
Dengan
kalimat yang penuh makna, maka pekik kemerdekaan terdengar di seluruh penjuru
Negeri. Kebebasan dari penjajahan yang sudah bertahan 350 tahun. Melumpuhkan
segala sendi-sendi kehidupan, khususnya moral dan kepribadian bangsa karena
kebodohan yang disebabkan penjajahan.
Sudahkah
pendidikan negeri ini merasakan kemerdekaan?
Sudahkah
bangsa ini, merasakan merdeka belajar maupun merdeka mengajar?
Tentang
merdeka belajar mungkin sudah bisa dirasakan, walaupun belum semuanya berjalan sesuai
yang diharapkan, minimalnya sudah bisa terlaksana, seperti USBN yang
dselenggarakan sekolah, rencana menghapus UN, diganti dengan Asesmen Kompetensi
Minimum (AKM) dan survei karakter.
Mas
Menteri, menginginkan pembelajaran tidak hanya di dalam kelas, tapi bisa outing
class. Justru pandemi ini, mewujudkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), dengan
sistem daring. Namun masih banyak kendala yang dialami oleh pelajar maupun
pengajar.
Masih
banyak pelajar yang belum bisa mengenyam Pendidikan secara maksimal, padahal
mereka mempunyai cita-cita mulia, untuk bisa cerdas, agar tidak tertindas oleh
kebodohan, yang akan menjerumuskan ke lubang kesengsaraan, seperti penjajahan
masa lalu akibat kebodohan. Masih banyak para pelajar di seluruh penjuru negeri
yang tidak atau belum mempunyai sarana untuk PJJ, baik itu gawai maupun
terkendala oleh kuota dan juga faktor alam yaitu sinyal.
Bagaimana
dengan merdeka mengajar?
Mungkin
sangat sulit diterapkan, karena Pendidikan Nasional Indonesia mengacu pada
kurikulum yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Karena,
untuk bisa merdeka mengajar, guru harus mampu melakukan terobasan pembelajaran
yang inovatif, mampu terwujudkan ke dalam kreativitas disegala kondisi dan
keterbatasan sarana maupun prasarana.
Guru
harus mampu mendesain pembelajaran, dengan segala kreativitas dan terobosan
pembelajaran yang inovatif, itulah kemerdekaan mengajar. Ditambah bisa
menciptakan sebuah program pembelajaran yang menarik bagi siswa. Kreativitas
ini, membentuk dan menciptakan guru maupun siswa yang berprestasi dan
berkarakter.
Dengan
segala daya dan upaya, guru harus mampu mengkombinasikan model, strategi,
tehnik dan taktik serta metode pembelajaran, yang akan membuat siswa dengan
mudah menerima materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru, sehingga Kompetensi
Inti Dan Kompetensi Dasar yang esensial mampu dan bisa dikuasai oleh siswa
dengan baik
Inilah
saat yang tepat bagi para guru, untuk menciptakan kemerdekaan dalam mengajar. Dengan
kreativitas dan inovasi pembelajaran dalam PJJ, dengan daring maupun luring
atau mengkombinasikan keduanya, baik secara online maupun offline.
Kami,
di SMP Negeri 1 Kuta Selatan, bersama-sama, bahu membahu, saling berbagi dan
bersinergi, untuk bisa melaksanakan PJJ pada masa pandemi ini dengan semaksimal
kemampuan kami.
Tentunya
semua upaya pembelajaran harus mengedepankan keberpihakan terhadap kepentingan
siswa. Bukan sesuai kemampuan dan keinginan guru.
Kami
para guru, menggunakan metode dan model yang berbeda, tetapi tetap mengacu pada
kepentingan dan keberpihakan kepada para siswa.
Kebanyakan
menggunakan Google Classroom (GCR), masih uji coba Microsoft Office 365.
Saya
sendiri memanfaatkan rumah Google Suite, yang di dalamnya banyak aplikasi yang
bisa kita berdayakan seperti Google Formulir, bisa untuk presensi maupun
tugas-tugas. Google Drive yang berkapasitas 15 GB untuk menyimpan data-data
penting dan tugas para siswa.
Ada
google Spreadsheet atau Microsoft excel,
untuk penghitungan berupa data angka, membuar grafik/chart, form cell.
Google
Sites untuk membuat web pribadi atau web mini, yang fungsinya hampir seperti
GCR, tapi menurut saya lebih simpel dan lebih mudah diakses oleh para siswa, bisa
memuat materi, tugas, video dan lainnya, dan bisa menambah materi sesuai
kebutuhan dengan link yang sama.
Yang
paling anyar dari G-Suite adalah aplikasi Google Meet, ini sangat praktis,
tidak perlu creat room untuk membuat meeting, siapapun bisa jadi hostnya.
Masih
banyak lagi aplikasi selain G-Suite dengan berbagai aplikasi seperti Kahoot
yang asyik juga untuk pembelajaran, sekali waktu kita bisa vicon tatap muka
langsung dengan siswa menggunakan Zoom Cloud Meeting atau Cisco Webex, buat
soal dengan Quiziis, Etmodo, Schoology dan lainnya.
Apapun
canggihnya teknologi, wajib bagi guru untuk memperhatikan kebutuhan, kemampuan
dan keadaan siswa, keperpihakan terhadap kepentingan siswa, harus diutamakan.
Mari
berkreasi dan berinovasi tiada henti, terus meng-update dan meng-upgrade
diri, agar tidak terlindas oleh zaman. Khususnya di era pendidikan 4.0, menuju
tol langit pendididkan, yang mutlak berorientasi dan berbasis IT.
Untuk
mewujudkan pendidikan nasional agar tetap maju dan berkembang, walau PJJ dan
berbasis virtual tidak menghentikan merdeka belajar maupun merdeka mengajar,
menuju Generasi Emas Indonesia.
Tetap
isi kemerdekaan dengan segala kemampuan yang ada, untuk membentuk mental-mental
tangguh yang berkarakter, agar tidak terkikis zaman.
Saturday, February 8, 2020
"KETIKA BUKUMU DITOLAK PENERBIT"
BERSAMA OM JAY