Berjaunglah
Saudaraku, Engkau juga Pahlawan
(Sekelumit perjuangan
guru di daerah 3T)
Oleh:
DewiRo
Pagi
ini saya merasa benar-benar tersentuh, dengan apa yang sudah dirasakan oleh
saudara saya dari sebuah SMA Negeri di Pagai Selatan. Dalam blognya, beliau
memperkenalkan diri, bahwa untuk mencapai tempat mengabdi di kecamatan Pagai
Selatan, yang menjadi salah satu kecamatan di garis terdepan Indonesia,
menantang Samudra Hindia, bertatapan langsung dengan Pulau Madagaskar, di
pesisir timur Afrika bagian Selatan, merupakan sebuah pulau paling ujung di
gugusan kepulauan Mentawai. Itu hanya satu contoh saudaraku yang berjuang di
daerah 3T, masih banyak pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa di luar sana.
Untuk
mencapai tempat mengabdinya, memerlukan waktu setengah hari dari kota Padang,
untuk mencapai sekolahnya, itu kalau cuaca sedang baik, kadang-kadang butuh
satu hari satu malam untuk mencapainya dengan bergelut bersama badai di lautan
untuk sampai di tempat tujuan. Sesampai di Pelabuhan, tidak bisa bersantai
harus begegas, karena untuk mencapai sekolah memerlukan waktu 37 km, dengan
menaklukkan tanah merah, hutan sunyi dan batuan karang untuk bertemu dengan
siswa-siswa istimewa beliau, bertemu dengan para pejuang pendidikan dengan
lampu lentera di setiap malamnya sebagai penerangan dalam pondok-pondok yang
mereka huni
Saya
pernah merasakan kesulitan itu. Di tahun pertama saya diangkat menjadi PNS pada
1989, disebuah kecamatan yang pada saat itu, sebelum bertugas di sana saya
mencari tempat tujuan di peta pun tak nampak. Tentunya sebuah dilema bagi saya
yang masih 23 tahun dengan semangat idealisme yang tinggi ternyata terbentur
dengan kondisi yang tidak pernah terbayangkan, berangkat dari kota pelajar
Yogyakarta, menuju provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Kecamatan
Kedondong. Pada waktu itu selalu terngiang dalam benak saya, cerita dari
orang-orang bahwa masih banyak binatang buas seperti macan dan sebagainya.
Akhirnya,
sampailah saya ke tempat tujuan dengan perjuangan yang saya rasakan begitu
berat pada saat itu. Dari kota Bandar Lampung menuju ke sekolah yang dituju
berjarak sekitar 50 km ( bisa ditempuh dalam waktu 4-5 jam, karena keterbatasan
angkutan umum). Sangat terkenal dari masyarakat, bahwa tempat itu seperti
tempat jin buang anak, karena saking sepinya dan kiri kanan adalah hutan
belantara. Tentunya saat itu dengan transportasi seadanya dan tidak setiap saat
ada.
Setelah
sampai di tempat tujuan, mungkin bisa dikatakan sok, karena belum pernah
terbayangkan dalam benak saya ada bentuk sekolahan SMA Negeri, seperti yang saya lihat. Mungkin saya anggap
bangunan yang tidak layak untuk sebuah sekolah. Sebuah bangunan yang hanya
terdiri dari papan kayu yang sudah begitu tua, yang lubang di sana-sini tanpa
olesan cap sedikitpun, pyur berwarna kayu kering lapuk dan dijadikan sebagai
dinding yang disambung diatasnya adalah kawat. Listrik pun belum terjangkau
apalagi fasilitas yang lain. Di tambah lagi banyak siswanya yang sudah
berkumis, ternyata ada yang sama umurnya dengan saya, dan kebiasaan mereka yang
biasa merokok dan masih suka membawa sajam (golok, belati dll) ke sekolah.
Itu
adalah cerita 31 tahun yang lalu, 10 tahun saya mengabdi, sudah banyak terdapat
perubahan dan kemajuan dari fasilitas sekolah yang ada. Itu semua, tentunya
berkat semangat seluruh komponen baik Guru, masyarakat dan peran serta
pemerintah. Jadi sudah 21 tahun yang lalu saya meninggalkan kota kenangan
tersebut, untuk mengabdi ke tempat yang baru sampai dengan saat ini.
Rasa
nano-nano yang saya rasakan pada 31 tahun yang lalu, yang saya anggap terasa
begitu berat, ternyata masih belum apa-apa, dibandingkan saudara-saudara saya, yang berada di daerah 3T,
yang berjuang lebih berat dibandingkan apa yang saya rasakan 31 tahun yang
lalu.
Di
zaman milenial abad 21, pendidikan didengungkan dengan berbasis IT. Masih ada
saudara kita dan putra-putri kita yang belum sepenuhnya mengenal dan mengenyam
pendidikan berbasis IT, karena terkendalanya sarana-prasarana, dimana di tempat
itu belum ada jaringan listrik yang selayaknya, jadi masih mengandalkan mesin
genset, yang penggunaannya pun harus dengan alasan urgent, untuk bisa
menyalakan dalam waktu satu atau dua jam saja.
Kiriman
lantunan doa dan semangat dari saya, untuk saudara-saudara kita yang berjuang
di garis terdepan, terluar dan tertinggal (3T), untuk terus tersenyum dalam berkarya.
Menebarkan ilmu untuk anak negeri, mengajarkan cita-cita mulia, bagi
putra-putri bangsa. Apa pun kendalanya, tak akan menyurutkan langka-langkahmu
untuk berjuang.
Walau
masa pandemi tanpa gawai bahkan listrik yang memadai,
kau
akan terus melangkah.
Walau
badai dan jarak ada,
kau
tak kan surut.
Walau
gelombang menghempasmu,
tak
akan sanggup, ia menghalangi tulus hatimu
Semoga
apapun yang saudara-saudara lakukan adalah sebuah ladang amal jariyah yang
mulia.
Semoga
cita-cita mulai dari Pendidikan nasional kita, yang di amanatkan dalam UUD NRI
1945, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan
kompetensi yang relavan dengan perkembangan zaman, agar tidak terlindas oleh zaman,
terwujud karena perjuangan para guru yang ikhlas dalam mengabdi.
Semangat
saudar-saudaraku, terus berjuanglah, salam Merdeka
Salam
Literasi
Tagur
ke-217
Baliku,
18 Agustus 2020
No comments:
Post a Comment