Tuesday, September 8, 2020

Mengelola Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif.

 

Mengelola Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif.

Oleh: DewiRo

Hari ini, saya baca blognya Om Jay, sangat tertarik dengan judulnya yang keren. Jadi penasaran ingin tahu, seperti apa dan bagaimana sih mengelola pembelajaran yang adaptif, fleksibel dan akomodatif. Om Jay juga menyarankan untuk melihat webinar episode 8, yang diselenggarakan Kemendikbud, banyak materi yang menarik, diantaranya webinar dengan judul, “Mengelola Pembelajaran yang Adaptif, Fleksibel dan Akomodatif.”

Anda dapat menontonnya di https://youtu.be/19zskjSJUL8, dengan durasi yang lumayan panjang karena ada 5 nara sumber, dipandu oleh pembawa acara yang cukup kondang yaitu Mas Gibran. Bersama ketua Pusat Penguatan Karakter,  Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Hendrawan.

Webinar dibuka dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya, seluruh peserta disilakan pada posisi khidmad.

 

Webinar kali ini mengambil tema: Mengelola Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif. Dalam kondisi khusus, jadi tema webinar kali ini, terkait dengan penyesuaian kebijakan pembelajaran di masa pandemi, yang tanggal 7 Agustus kemarin disampaikan oleh Mas Menteri.

 

Sambutan pertama oleh ketua Pusat Penguatan Karakter, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Hendrawan. Pusat penguatan karakter ini, merupakan salah satu pusat baru dibawah kepemimpinan Mas menteri yang diberikan mandat untuk menyampaikan juga mengedukasikan kebijakan kementerian pendidikan dan juga nilai-nilai Pancasila dalam penguatan karakter dan juga mengadakan acara-acara yang disesuaikan dengan hari besar nasional, hari besar agama, dan hal-hal lain. Tidak hanya dalam bentuk webinar, dan ada berbagai kegiatan lainnya. Seperti nonton bareng virtual dan kegiatan-kegiatan dengan tema karakter virtual, juga lomba-lomba.

 

Selanjutnya webinar di awali oleh nara sumber pertama yaitu Mbak Sofi Dewayani, beliau ketua satgas gerakan literasi sekolah, Kemendikbud.

 

Materinya tentang bagaimana mengelola pembelajaran adaptif , fleksibel dan akomodatif.  Menurut beliau, sesui dengan tugasnya sebagai pegiat literasi, maka pembelajaran yang adaptif adalah pembelajaran literasi merupakan salah satu cara yang bisa mempertahankan kompetensi siswa, karena merupakan kemampuan esensial.

Kecakapan generatif, pada masa ini menjadi penting sekali, untuk itu kecakapan yang aktual penting dimiliki oleh siswa, untuk mengatasi tantangan abad 21.

Diantaranya kecakapan untuk memilih informasi secara kritis,  agar bisa digunakan untuk mengambil keputusan dalam kehidupan ini.  Supaya bisa berperan sebagai warga negara dan warga global.

Khususnya pada masa pandemi ini, kemampuan literasi dalam kecakapan mengelola informasi sangat dibutuhkan. Dalam PJJ siswa harus mampu melaksanakan PJJ, mampu mengakses informasi, bagaimana hidup sehat, bagaimana menyelesaikan tugas pembelajaran, dan kecakapan hidup lainnya.

Intinya pada masa saat ini siswa dikepung oleh berbagai informasi yang menglobal. Sehingga kemampuan literasi ini sangat penting, agar punya kecakapan hidup. Untuk memilih informasi, menyeleksinya, membekali mereka dengan ketahanan hidup, bagaimana mereka hidup lebih sehat, bagaimana mereka bertahan secara emosional, dan sebagainya.

Sebagai contoh pembelajaran yang adaptif bisa berupa kegiatan-kegiatan:

1.    Meskipun mereka tidak berjumpa dengan teman atau gurunya di sekolah, tapi mereka dapat beraktivitas tetap dengan cara menyenangkan, ini penting sekali.

2.     Menyediakan buku-buku anak bergambar agar tetap bisa menumbuhkan literasi siswa, jadi meningkatkan kecakapan literasi.

 

3.     Jadi yang disebut pembelajaran adaptif tentunya disesuai dengan kondisi kekhasan siswa pada masa pandemi, sebagai contoh lagi seperti, tidak perlu menetapkan kurikulum harus tuntas, yang penting melakukan kegiatan yang bermakna. Tentunya di barengi oleh guru dan orang tua yang harus selalu berinovasi agar tercipta pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna.

 

Demikian ini pemaparan dari Mbak Sofi, yang juga ketua Yayasan Litara. Sangat menarik dan sangat menginspirasi. Bahwa dalam masa pandemi ini, khususnya guru harus bisa berinovasi dalam pembelajaran dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik.

Masih ada naras umber lainnya, yang membahas materi menarik, simak artikel selanjutnya ya.

 

Salam Literasi

Baliku, 8-08-2020


Monday, September 7, 2020

Apa Pesan Mas Menteri, Agar Sekolah Bisa Tatap Muka?

 Apa Pesan Mas Menteri, Agar Sekolah Bisa Tatap Muka?

Oleh: DewiRo

Berkali-kali saya lihat pesan dari Mas Menteri, mengenai boleh tidaknya menyelenggarakan pembelajaran dengan tatap muka. Hari ini, saya mengaduk-aduk chanel youtube untuk mencari sumber tentang bagaimana mengelola pembelajaran yang adaptif, fleksibel dan akomodatif, ternyata belum bisa dibuka, dan akhirnya ketemu lagi dengan wajah yang tak asing bagi para pendidik yaitu Mendikbud Nadiem Anwar Makarim.

Akhirnya, saya tergerak untuk menulis pesan beliau baik sebagai Menteri maupun sebagai orang tua. Yang mungkin, ada sekolah atau guru yang belum sempat lihat di televisi atau media lain tentang pesan beliau.

Mas Menteri berpesan kepada seluruh lapisan pendidik maupun orang tua, mengenai tata cara pembelajaran tatap muka, pada masa pandemi, saat ini.

Pesen tersebut ada tiga poin pokok, sebagai berikut cuplikannya:

 

Pesan pertama:

Bahwa untuk zona kuning dan hijau, sekolah tidak bisa mulai pembelajaran tatap muka, tanpa persetujuan orang tua, melalui persetujuan komite sekolah, yaitu perwakilan orang tua di masing-masing sekolah. Dan bahkan kalau sekolah itu, mau melakukan tatap muka, dan sudah akan membuka pembelajaran tatap muka, masing-masing orang tua anak, boleh tidak memperkenankan anaknya masuk ke dalam sekolah, kalau mereka belum nyaman dan mereka diperbolehkan melanjutkan PJJ, jika orangtuanya tidak memberikan izin untuk masuk sekolah tatap muka ini.

Dari pesan pertama Mas Menteri, bahwa apabila sekolah yang dikatagorikan dalam zona aman yaitu kuning dan hijau, maka sekolah harus membicarakan matang-matang dengan orang tua melalui komite. Kalaupun sekolah dan komite sudah sepakat, namun masih ada orang tua yang belum merasa tenang dan nyaman melepaskan anaknya ikut sekolah dengan tatap muka, maka boleh tetap belajar sistem PJJ. Jadi kuncinya ada di persetujuan orang tua peserta didik.

Pesan kedua:

Bahwa, pada saat sekolah melakukan pembelajaran tatap muka, kondisi protokol kesehatannya harus sangat ketat. Masing-masing rombel hanya diperbolehkan maksimal 50% dari kapasitas, berarti harus melakukan rotasi shifting semua sekolah ini. Tidak ada lagi aktivitas kantin, berkumpul, ekstrakurikuler, yang akan ada yang resiko interaksi, antara masing-masing peserta didik. Jadi hanya boleh sekolah, langsung pulang sekolah, dan tentunya wajib memakai masker dan berbagai macam checklist yang sangat ketat.

Artinya, bahwa apabila terselenggara pembelajaran tatap muka, maka tiap kelas hanya boleh terisi kapasitas sebanyak 50% dari jumlah siswa di kelas tersebut, misalnya sebelum pandemi berjumlah 30 siswa, maka sekarang maksimal hanya boleh 15 siswa. Untuk itu harus ada rotasi shifting.

Aktivitas apapun selain belajar di kelas semuanya ditiadakan, dan standar protokol Kesehatan harus benar-benar diperhatikan dan sangat ketat.

Berarti pula, sekolah harus benar-benar siap dengan segala sarana prasarana, sesuai standar protokol Kesehatan covid-19.

 

Pesan ketiga:

Bahwa, 88% dari pada daerah 3T (Terdepan, terluar, dan tertinggal) di Indonesia, yang sangat sulit untuk bisa melakukan PJJ itu, ada di zona kuning dan hijau, Mas Menteri berharap, karena masih banyak sekali daerah-daerah yang tidak bisa melakukan PJJ, untuk itu bisa mulai melakukan tatap muka, agar mereka tidak ketertinggalan dari sisi pembelajaran.

 

Sebagai menteri dan orang tua, beliau hanya ingin mengingatka, tiga poin ini.

1.    Bahwa relaksasi zona kuning dan hijau, itu semua kuncinya, keputusan ada di orang tua.

2.    Bahwa protokol kesehatan pada saat tatap muka, itu sangat berbeda dari pra pandemi ini, dengan rotasi shifting.

3.    Masih banyak sekali daerah-daerah yang tidak bisa melakukan PJJ, bisa mulai melakukan tatap muka, agar mereka tidak ketertinggalan dari sisi pembelajaran

Semoga sekolah-sekolah dalam zona aman yaitu zona kuning dan hijau, yang ingin membuka pembelajaran tatap muka, bisa memperhatikan pesan Mas Menteri. Dengan mempersiapkan sebaik mungkin sarana dan prasarana sesui protokol pencegahan covid-19. Tetap dengan memperhatikan, bahwa persetujuan orang tua sangat penting. Jadi sebelum itu tentunya harus buat surat edaran untuk mendapatkan persetujuan dari orang tua.

Tetap semangat.

Salam Literasi

Baliku, 7 September 2020




Webinar 8 - Mengelola Pembelajaran Adaptif, Fleksibel, dan Akomodatif

Sunday, September 6, 2020

Digital Mindset di Masa New Normal

 

Digital Mindset  di Masa New Normal

Oleh: DewiRo

Belajar dengan professor satu ini memang mengasyikkan, walau hanya lewat chanel youtube dan webinar menggunakan zoom.  Yang diselenggarakan antara PGRI, penerbit Andi dan Ekoji chanel akademi. Webinar kali ini selain nara sumber Prof. Dr. Richardus Eko Indrajit, ada ketua umum PGRI Prof Unifah, dari penerbit Andi Jogja Bapak Joko Irawan Mumpuni, si cantik Non Dwinita, Om Jay dan para penulis muda besutan prof Eko, beserta 166 peserta webinar, yang live lewat zoom dan lainnya melalui chanel Youtube.

Kali ini, temanya sangat keren dan sangat relevan dalam masa pandemi dengan Pembelajaran Jarak Jauh. Judulnya adalah mengenai Digital Mindset  di Masa New Normal,  yang di fokuskan digital mindset untuk pendidik, untuk guru, dosen, orang tua, para  instruktur, pemerhati pendidikan dan lain sebagainya. Dengan studi kasus, “guru penulis kilat.”

Apa yang di maksud dengan Digital Mindset?

Digital Mindset adalah berfikir secara digital, dalam menghadapi berbagai issu dan tantangan pemecahan masalah, sehingga mendapat solusi yang efektif, kreatif, inovatif dan disruptif.

Dalam masa saat pandemi ini, tentunya untuk menghadapi masa new normal atau menghadapi tatanan hidup baru di masa pandemi, kita harus berani mencoba berpikir secara digital, menghadapi berbagai isu dan tantangan dalam pemecahan masalah, sehingga diperoleh solusi yang efektif, kreatif, inovatif dan cenderung disruptif.

 

Sekarang ini, situasi serba sulit dalam segala sektor krhidupan. namun yang namanya pendidikan harus tetap berjalan terus, ilmu berkembang terus, apa yang harus kita lakukan, sebagai seorang pendidik?

Dalam menghadapi permasalahan ini, kita harus cari solusi, tapi secara efektif, kreatif, inovatif dan cenderung disruptif. Adanya fenomena digitalisasi, jadi semua hal yang bisa dipindah dalam bentuk file, seperti buku bisa jadi file dengan e-book, video dalam bentuk file, bisa berupa chanel youtube, termasuk pertemuanpun mengunakan digital mindset dengan webinar, maka kita bertemu dalam bentuk elektronik. Itu semua bisa dilakukan atau menjadi solusi bagi permasalahan yang kita hadapi.

 Seluruh profesii harus memiliki digital mandset, jika ingin berhasil dan tetap relevan dengan kondisi zaman yang dinamis, seperti sekarang ini.  Contoh Go-jek dan sejenisnya, lahir karena digital mindset, e-learning lahir karena adanya digital mindset, pertemuan yang sering kita lakukan dengan vicon menggunakan webex, zoom, google meet dan lainnya. ini juga adanya pemikiran digital mindset. Melihat berbagai karya-karya lain, seperti Bukalapak dan sejenisnya, itu juga berpikir kreatif, inovatif secara digital sehingga memberikan manfaat bagi kita semua, walau cenderung desruktif.

 

Dari semua profesi harus memiliki digital mindset. Khususnya, yang paling utama adalah guru, karena semua masyarakat semuanya dibimbing oleh guru, anak sebagai generasi penerus/ generasi muda, lahir dari sekolah, guru yang memiliki digital mindset, bisa menularkan pikiran kreatif, inovatif nya, kepada para siswa dan masyarakat semua.

 

Ada 5 ciri sederhana dalam digital mindset, untuk kalangan pendidik atau guru.

1.    Digital Mindset pertama

a.      Dulu        : Murid/kita menunggu ilmu diberikan oleh pihak lain/guru.

b.      Sekarang: Menjemput ilmu secara mandiri dan independen.

Artinya kalau masa lalu, kita hanya menunggu ilmu yang diberikan oleh guru atau pihak lain, kita menunggu diajarain, karena keterbatasan pengetahuan dan tehnologi. Sedangkan dengan adanya  perubahan digital mindset, sekarang, murid atau siapapun bisa menjemput, mencari dan memperoleh ilmu pengetahuan secara mandiri dan independent. Dalam masa pandemi dan PJJ ini, menjemput ilmu adalah sebuah keniscayaan. Untuk mengetahui banyak hal pada zaman digital mindset, tinggal memainkan jari-jemari tangan kita, untuk mengetahui banyak hal di dunia internet, jari-jemari kita tinggal searching, ilmu ada dalam gengaman kita, tidak zamanya lagi untuk menunggu ilmu, tapi waktunya menjemput ilmu secara mandiri dan independen.

 

2.    Digital Mindset

a.    Dahulu     : Ajarkan konten kepada peserta didik

b.    Sekarang : Tanamkan kompetensi kepada peserta didik

 

Dahulu, semua konten diajarkan, karena yang bisa mempelajari konten hanya guru dan sebagain masyarakat, karena keterbatasan sarana dan prasarana, hanya ada dalam buku guru, yang jumlahnya pun terbatas.peserta didik hanya bisa menerima di dalam kelas.

Tetapi di zaman digitaliisasi ini tentunya dengan digital mindset, guru tinggal meminta kepada peserta didik atau menanamkan peserta didik tentang kompetensi. Kalau hanya memberikan konten, maka akan sia-sia dan membuang-buang waktu, untuk diri kita sendiri juga membuang waktu bagi peserta didik kita.

Tugas kita sekarang adalah memberi dan menanamkan kompetensi pada peserta didik.

Tidak mungkin kita bisa menanamkan kompetensi, tanpa ada knowladge atau tanpa ada konten. Seperti yang dikatakan oleh Mas Menteri, kita harus pindah dari konten base ke  outcome base education, intinya adalah siswa kita pada saat ini, bukan tahu apa, tapi siswa kita  bisa apa, kalau mereka bisa mengerjakan sesuatu, pasti tahu.  tapi sebaliknya kalau hanya tahu dan tidak bisa apa-paa, itu namanya cuma pengetahuan hafalan/kognitif saja.  

Jadi di zaman digital mindset, dengan kecanggihan sarana seperti internet yang tersambung dengan chanel youtube dan lainnya, maka peserta didik akan mudah mendapatkan segala macam konten, bukan dari guru, tetapi dari adanya digital mindset. Semua sudah tersedia di internet.

 

3.    Digital Mindset ketiga

a.    Dahulu     : Belajar dulu baru dipraktekkan kemudian

b.    Sekarang : Belajar sambil praktek itu biasa

 

Dahulu belajar dulu, teori dulu, prakteknya belakang, kadang ilmu yang dipelajari tidak tahu cara operasionalnya, tidak bisa menggunakannya dan mempraktekan.

Pada zaman digital mindset, belajar prakter bersamaan dengan menerima teori, itu adalah hal yang biasa dan bisa dikatakan harus demikian, jadi tidak sekedar teori tetapi langsung bisa praktek. Artinya bisa menerapkan dalam kehidupan nyata, bukan hanya sekedar belajar teori.

Para peserta didik dengan mudah belajar bersamaan antara teori dan praktek, tanpa harus menunggu pemberian dari guru, mereka bisa searching sendiri di dunia maya dengan menjelajah bersama internet.

Mau belajar masak, main musik, olahraga, belajar matematika. IPA, dan lainnya tinggal klik. Skill atau keterampilan yang didapat dari zaman digital mindset, atau micro skill, semua akan terwujud. sehingga mereka bisa belajar, yang  bisa di praktekan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pendidikan formal, pendidikan informal maupun pendidikan nonformal, sekarang sudah menjadi konvergensi satu dan lainnya. Seperti belajar e-learning, bisa dimanasaj, kapan saja dan dengan siapa saja, peserta didik juga bisa menikmati pembelajaran dengan fun end easy, belajar teori sambil praktek. Skill bisa dipelajari sejak dini.

 

4.    Digital Mindset keempat

a.    Dahulu     : Peserta didik adalah kertas kosong yang harus diisi

b.    Sekarang : Peserta didik adalah manusia yang cerdas yang harus dibentuk

 

Pada zaman kita SD dulu, adalah seperti kertas kosong, yang harus diisi, itu konsep lama. Tetapi zaman sekarang pada digital mindset, siswa adalah seorang yang cerdas, siswa adalah manusia yang perlu dibentuk, selalu memiliki konsep, bahwa putra-putri kita semua, bisa menjadi pribadi yang hebat, menjadi manusia yang cemerlang, penuh inovatif.

Paradigma ini harus kita tumbuhkan, harus bisa belajar bersama-sama, belajar seumur hidup, maksudnya belajar seumur hidup artinya, bahwa kita harus selalu belajar, guru yang berhenti belajar artinya berhenti menjadi guru, atau BERANI MENGAJAR SIAP BELAJAR. 

Belajar adalah proses seumur hidup, tidak ada kata akhir. Kehidupan adalah juga sebuah pembelajaran.  Guru yang berhenti belajar, artinya dia telah berhenti menjadi guru, karena belajar sepamjang hidup.

 

5.    Digital Mindset kelima

a.    Dahulu                       : Berkarya itu harus kalau sudah dewasa

b.    Sekarang       : Segala usia terbuka untuk berkarya

 

Paradigma lama, bahwa orang kalau mau berkarya harus pntar dulu, harus besar dulu, harus dewasa dan banyak ilmu pengetahuannya.

Tentunya pendapat dan persepsi seperti itu, tidak berlaku lagi di zaman digital ini. 

Mindset harus kita rubah, filosofi diatas harus kita perbaharui, bahwa, Berkarya terbuka dari sejak dini. Segala usia terbuka untuk berkarya, tidak usah menunggu.

Karena pada zaman digital mindset, dengan teknologi karya-karya yang bersifat digital. mudah dikembangkan dan mudah diakses oleh berbagai kalangan.

 

Sangat sesuai pada masa pandemi covid-19 ini, paradigma dan pola pikir harus menuju digital mindset. Berkaryalah sejak dini dan terbuka untuk siapasaja. Karya digital sangat mudah diciptakan dan dikembangkan. Berkaryalah dan berbagilah, ilmu yang Anda punya.

 

Salam Literasi

Baliku, 6-09-2020